Minggu, 11 Oktober 2009

Hubungan Subjek Predikat dan Kaidah Transformasinya

Hubungan Subjek (aku, dia, atasan, bawahan, saudara, dsb) dengan predikat (sifat-sifatku, sifat-sifatnya, sifat-sifat bawahan, sifat-sifat saudara, dsb) dalam konteks sosial bukan hanya sebuah relasi inti yang hanya melulu merelasikan keduanya. Sering keberadaan objek (hubunganku dengan hubungan lainnya) harus dihadirkan sebagai bentuk keaktiftransitifan dalam kancah sosial itu. Tetapi, itupun kadang belumlah cukup, kadang keaktiftransitifan itu harus pula ditambahkan keterangan sebagai penanda ruang dan waktu atau pelengkap untuk menjalin hubungan dengan yang lain lagi dari diriku.

Pola hubungan Subjek-Predikat ( + Objek – Keterangan/ pelengkap) yang semula bersifat simpel, aktif, positif, dan runtut seiring transformasi sosial budaya, merekapun sedikit banyak telah terpengaruh oleh kaidah transformasinya.

Hubunganku dengan sifat-sifatku yang semula lengkap, kini mulai terkikis oleh kaidah transformasi delisi sehingga hubunganku dengan sifat-sifatkupun menjadi elips.

Hubungan dia dengan sifat-sifatnya yang semula simpel, kini mulai terkena kaidah transformasi penggabungan sehingga hubungan dia dengan sifat-sifatnyapun menjadi kompleks.

Hubungan atasan dengan sifat-sifat atasan yang semula hanya berupa statemen, kini mulai terkena kaidah transformasi perintah sehingga hubungan atasan dengan sifat-sifat atasanpun menjadi perintah.

Hubungan saudara dengan sifat-sifat saudara yang semula aktif, kini mulai terkena kaidah transformasi pemasifan sehingga hubungan saudara dengan sifat-sifat saudarapun menjadi pasif.

Hubungan bawahan dengan sifat-sifat bawahan yang semula positif, kini mulai terkena kaidah transformasi pengingkaran sehingga hubungan bawahan dengan sifat-sifat bawahanpun menjadi ingkar.

Hubungan anak dengan sifat-sifat anak yang semula runtut, kini mulai terkena kaidah transformasi pembalikan sehingga hubungan anak dengan sifat-sifat anakpun menjadi inversi.

Idul fitri merupakan kesempatan yang diberikanNya sebagai titik balik untuk mengembalikan sebenar-benarnya keharmonisan pola hubunganku dengan sifat-sifatku, hubunganku dengan hubungan lainnya dan hubunganku dengan yang lain lagi dariku.

Analisis Genre Idul Fitri

Aku mengutip tulisan Halliday yakni bahwa setiap genre wacana memiliki tiga hal pokok di dalamnya yakni tujuan sosial, struktur generik, dan kekhasan fitur-fiturnya. Idul fitri sebagai suatu genre wacana juga memiliki kesemuanya itu. Menurutku, tujuan sosial idul fitri adalah habluminannas setelah habluminallah.

Aku memulai perjalananku ini dengan puasa ramadhan selama satu bulan. Puasa ini mengharuskanku untuk menahan nafsu amarah, aluamah, dan badaniah. Jika ini tak ku lakukan, hilanglah pahalaku dan lapar hauslah perolehanku. Puasa belumlah cukup. Aku harus melengkapinya dengan berbagai ritual lain seperti tarawih, tadarus, dan tafakur.

Ketika aku akan mengakhiri perjalananku, aku harus mengeluarkan dua setengah persen hartaku. Itulah sebenar-benarnya zakat untuk diberikan pada orang yang kurang beruntung dariku. Aku mendengar takbir dan sayup suara bedug. Sesungguhnya, itulah pertanda dimulainya idul fitri.

Aku bungkukkan badanku, aku sujudkan wajahku,aku ucapkan syukur kehadiratMu. Aku masih bisa menikmati malam kemenangan dan kebebasan ini. Kemenangan karena aku telah berusaha memenangkan kejuaraan ini dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Kebebasan karena esok telah selesai puasaku. Rasa lega seperti telah keluar dari kawah candradimuka, tlah ku temukan sebenar-benar diriku.

Aku mulai momen idul fitri ini dengan shalat ied diteruskan jabat tangan bersama ratusan orang-orang itu. Ketika ku pulang, tlah ada ketupat di mejaku. Ketika ku datang ke rumah orang-orang itu, ada ketupat pula di meja mereka. Kemudian ku bertanya apakah sebenar-benar idul fitri itu ketupat? Ketupat berasal dari kata ‘kupat’ (bahasa jawa) yang artinya salah. Ketupat-ketupat itu dimakan di hari idul fitri yang artinya semua kesalahan itu dimaafkan di hari idul fitri. Ketika ku lihat orang-orang itu, banyak sekali orang asing. Ternyata idul fitri didahului dengan adat mudik ‘menuju udik’ untuk sekedar memakan ketupat atau melebur kesalahan dan minta ampunan Allah dan kemudian orang-orang itu untuk menggapai harmoni.