Orang yang senang ‘plesetan’ adalah orang yang sakit. Memang bahasa plesetan umumnya digunakan oleh para waria, gay untuk menyamarkan maksud ungkapan perkataannya sehingga orang yang di luar komunitas tersebut tidak bisa memahaminya. Selain itu, kaum muda juga senang memakai bahasa plesetan itu. Mereka menyebutnya bahasa gaul. Kaum waria, gay termasuk komunitas minor yang terpinggirkan, sehingga mereka membuat kaidah bahasanya sendiri sebagai penanda pemberontakan mereka terhadap aturan baku bahasa dan aturan baku masyarakatnya yang hanya mengakui dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Waria merupakan kependekan dari wanita pria. Pada dasarnya sifat fisik mereka laki-laki, namun karena berbagai faktor mereka bertingkah seperti layaknya wanita. Gay adalah kaum laki-laki yang menyukai sesama jenisnya. Sementara kaum muda ialah orang-orang yang menginjak usia remaja (16 - 24 tahun). Pada masa tersebut gejolak emosi mereka sedang berada dalam fase yang klimaks. Ketiga golongan orang tersebut memiliki karakter dan sikap yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga pantaslah jika mereka disebut sebagai orang yang sakit.
Keadaan mereka sebagai orang yang sakit ternyata menimbulkan penciptaan kaidah berbahasa yang hanya dipahami oleh komunitasnya. Dari segi sosiolinguistik, bahasa plesetan merupakan suatu bentuk kreatifitas berbahasa. Bahasa plesetan dan bahasa gaul itu tetap mengikuti kaidah struktur aslinya, hanya saja ditambahkan sisipan seperti il, dan ok. Seperti ny+ok+ap, bap+il.
Bahasa plesetan lain dengan bahasa ilmiah. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan pengetahuan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakannya berupa bahasa logika, yakni bahasa yang dihasilkan dari proses berpikir dengan menggunakan metode keilmiahan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi X, maka si penerima informasi juga harus menerima informasi yang berupa X pula, dan jika memerlukan penalaran juga harus logis. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kesalahan informasi.
Bahasa sakit, seperti bahasa plesetan, terbentuk karena fungsi emotif atau bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan atau emosi pemakainya. Sementara itu, bahasa sehat adalah bahasa yang terbentuk berdasarkan fungsi logis dan komunikatif.
Senin, 21 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lho..bahasa kok jadinya ke "Gay". lalu bagimana dengan utak-atik bahasanya "DAGADU" atau "DOGER"? Apa fenomena itu juga diciptakan oleh mereka yang "dianggap" tidak normal oleh masyarakat yang meyakini dirinya "SANGAT NORMAL." Tampaknya kekritisan ibu terlalu mendalam dan terlalu melebar...Fokus pada fenomena bahasanya...bukan dari genetisnya. Struktural, baru jalan ke genetis atau sosial.Ontologinya dulu baru ke epistimologi dan aksiologinya...Biarin aja dhink!!!
BalasHapus