Senin, 21 Desember 2009

Bahasa Sehat dan Bahasa Sakit

Orang yang senang ‘plesetan’ adalah orang yang sakit. Memang bahasa plesetan umumnya digunakan oleh para waria, gay untuk menyamarkan maksud ungkapan perkataannya sehingga orang yang di luar komunitas tersebut tidak bisa memahaminya. Selain itu, kaum muda juga senang memakai bahasa plesetan itu. Mereka menyebutnya bahasa gaul. Kaum waria, gay termasuk komunitas minor yang terpinggirkan, sehingga mereka membuat kaidah bahasanya sendiri sebagai penanda pemberontakan mereka terhadap aturan baku bahasa dan aturan baku masyarakatnya yang hanya mengakui dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Waria merupakan kependekan dari wanita pria. Pada dasarnya sifat fisik mereka laki-laki, namun karena berbagai faktor mereka bertingkah seperti layaknya wanita. Gay adalah kaum laki-laki yang menyukai sesama jenisnya. Sementara kaum muda ialah orang-orang yang menginjak usia remaja (16 - 24 tahun). Pada masa tersebut gejolak emosi mereka sedang berada dalam fase yang klimaks. Ketiga golongan orang tersebut memiliki karakter dan sikap yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga pantaslah jika mereka disebut sebagai orang yang sakit.
Keadaan mereka sebagai orang yang sakit ternyata menimbulkan penciptaan kaidah berbahasa yang hanya dipahami oleh komunitasnya. Dari segi sosiolinguistik, bahasa plesetan merupakan suatu bentuk kreatifitas berbahasa. Bahasa plesetan dan bahasa gaul itu tetap mengikuti kaidah struktur aslinya, hanya saja ditambahkan sisipan seperti il, dan ok. Seperti ny+ok+ap, bap+il.
Bahasa plesetan lain dengan bahasa ilmiah. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan pengetahuan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakannya berupa bahasa logika, yakni bahasa yang dihasilkan dari proses berpikir dengan menggunakan metode keilmiahan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi X, maka si penerima informasi juga harus menerima informasi yang berupa X pula, dan jika memerlukan penalaran juga harus logis. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kesalahan informasi.
Bahasa sakit, seperti bahasa plesetan, terbentuk karena fungsi emotif atau bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan atau emosi pemakainya. Sementara itu, bahasa sehat adalah bahasa yang terbentuk berdasarkan fungsi logis dan komunikatif.

Senin, 14 Desember 2009

Ontologi Diri

Aku adalah seorang gadis jawa yang dibesarkan dalam lingkungan yang njawani, dalam artian semua hal yang berkaitan dengan tingkah laku didasarkan pada falsafah Jawa. Satu hal yang mendarah daging hingga aku dewasa adalah posisi dan perlakuan sebagai wanita Jawa yang serba ngalah. Aku selalu segan untuk mengeluarkan pendapat dalam forum diskusi/ debat studiku. Aku memang lebih banyak diam, bukan aku tidak tahu dan paham tentang objek kajian diskusi, tetapi norma yang tertanam kuat mengharuskan aku untuk tidak menyukai debat dan omong kosong. Seolah black box yang ada di otakku begitu kuat merajai untuk menyaring pilihan kata yang sesuai dan sopan untuk aku ucapkan nantinya.
Aku tahu itu sebagai kurangku. Aku memang lebih menyukai menulis daripada berbicara, aku lebih suka meneliti dan mengerjakan sesuatu yang memerlukan ketelitian dan kerapian seperti mengerjakan soal statistik, menganalisis klausa berdasarkan teori tertentu, daripada berdebat dan berbicara di muka umum.
Kini, ku tlah mencoba untuk menjadi seorang pendidik yang mau tak mau harus berbicara di depan muridku guna mentransfer ilmu. Ketika pertama tampil ada rasa risau dan krisis percaya diri, tetapi lama kelamaan, rasa itu seperti pudar. Aku mungkin harus lebih banyak belajar, temukan jati diriku, gali potensiku, kalahkan egoku, seperti bima yang berusaha mengalahkan dua raksasa penjelmaan dewa di hutan gandamayit untuk dapat temukan tirta perwitasari atau air kehidupan.
Diriku yang terdiri atas jasmani dan batinku, keduanya perlu makan dan refleksi untuk mengembangkannya. Diriku yang sesungguhnya adalah ketika aku telah bisa mengetahui diriku di dalam diriku, aku bisa masuk dalam diriku lewat lubang kecil telingaku. Seperti ketika Bima yang berusaha masuk ke dalam dewaruci. Setiap diri memiliki potensi dan kurang dengan segala keunikannya. Jika setiap diri menyadarinya dan berusaha tuk kalahkan raksasa dalam dirinya dan berteguh hati terhadap semua coba dan goda, niscaya dirinya akan seperti Arjuna yang bisa miliki panah pasopati dan Bima yang bisa temukan tirta perwitasari.

Kesalahan Tertinggi

Tuhan menciptakan manusia dan semua makhluknya tiada lain untuk menyembah dan mematuhiNya. Ketika Tuhan memerintahkan untuk menghormati Adam (manusia pertama ciptaannya), hanya setan yang tidak mau mematuhi dengan dalih setan lebih tinggi derajatnya jika dibanding manusia, sebab setan tercipta dari api, sedangkan manusia hanya dari tanah. Hal tersebut merupakan kesalahan tertinggi yang dilakukan setan sebab melanggar perintahNya dengan melakukan kesombongan. Padahal pembeda menurut Tuhan hanyalah amalannya.
Ketika manusia di dunia, kesalahan tertinggi yang dilakukannya adalah ketidakberdayaannya menjadi khalifah/ pemimpin di muka bumi seperti halnya keinginan Tuhannya.
Bagi orang muslim, kesalahan tertinggi adalah jika dia pernah menyekutukan Tuhannya dengan sesuatu yang lain/ musyrik.
Bagi seorang anak, kesalahan tertinggi adalah jika dia durhaka terhadap orang tua apalagi ibunya.
Bagi guru, kesalahan tertinggi adalah jika dia mengajar muridnya dengan statis tanpa ada pembaharuan dari waktu ke waktu
Bagi siswa, kesalahan tertingginya adalah jika tidak mengidahkan dan mengembangkan pembelajaran yang diperoleh dari gurunya.
Selalu ada kesalahan tertinggi dalam dimensi hidup, tetapi selalu saja ada titik balik penetralnya seperti halnya Tuhan yang selalu mengampuni umatnya yang bertobat, orang tua yang selalu memaafkan anaknya dan guru yang selalu memberi kesempatan muridnya untuk memperbaiki nilainya.

Bersatunya Awal dan Akhir

Awal merupakan suatu permulaan. Manusia berawal dari segumpal darah yang setelah melalui proses tertentu dan dalam dimensi tertentu akhirnya menjadi seorang bayi manusia sempurna yang lahir dari rahim ibunya. Sedangkan akhir adalah mati, berpisahnya jiwa dan raga. Awal atau permulaan adalah tesis dan mati atau akhir sebagai antitesisnya. Sementara itu, hidup merupakan sintesis dari keduanya.
Hidup bagi manusia bukanlah tanpa tujuan. Memang hidup identik dengan bernapas, berkembang, dan beradaptasi. Manusia hidup untuk menjadi pemimpin di muka bumi, melebihi makhluk lain yang tiada berakal.
Awal manusia telah didahului awal penciptaNya. Manusia dicipta dari yang terdahulu untuk selalu mengingat penciptaNya. Dia tlah turunkan wahyu yang tertulis dalam kitabNya. Di dalamnya ada berbagai aturan tentang pola hidup. Dia selalu bersuara lantang pada manusia ciptaannya ‘jika engkau patuh, harmonislah dan bila kau ingkari kau tak kan pernah berjalan pada porosku, disharmoni yang kau dapat.’
Harmoni – disharmoni, siang – malam, muda – tua, amal – balasan, hidup – mati bahkan awal – akhir, selalu saja ada kontradiksi di dunia ini. Namun, ketika muda dan tua bersatu kita dapati setengah baya (setengah muda dan tua), ketika siang dan malam bersatu ada sore, ketika lahir dan mati bersatu ada hidup, ketika awal dan akhir bersatu mungkin di dalamnya juga ada hidup. Aku tidak akan mengatakan bersatunya awal dan akhir itu kiamat, sebab kiamat bukan akhir segalanya, hanya akhir dunia dan setelah dunia masih ada kehidupan akhirat.

Minggu, 11 Oktober 2009

Hubungan Subjek Predikat dan Kaidah Transformasinya

Hubungan Subjek (aku, dia, atasan, bawahan, saudara, dsb) dengan predikat (sifat-sifatku, sifat-sifatnya, sifat-sifat bawahan, sifat-sifat saudara, dsb) dalam konteks sosial bukan hanya sebuah relasi inti yang hanya melulu merelasikan keduanya. Sering keberadaan objek (hubunganku dengan hubungan lainnya) harus dihadirkan sebagai bentuk keaktiftransitifan dalam kancah sosial itu. Tetapi, itupun kadang belumlah cukup, kadang keaktiftransitifan itu harus pula ditambahkan keterangan sebagai penanda ruang dan waktu atau pelengkap untuk menjalin hubungan dengan yang lain lagi dari diriku.

Pola hubungan Subjek-Predikat ( + Objek – Keterangan/ pelengkap) yang semula bersifat simpel, aktif, positif, dan runtut seiring transformasi sosial budaya, merekapun sedikit banyak telah terpengaruh oleh kaidah transformasinya.

Hubunganku dengan sifat-sifatku yang semula lengkap, kini mulai terkikis oleh kaidah transformasi delisi sehingga hubunganku dengan sifat-sifatkupun menjadi elips.

Hubungan dia dengan sifat-sifatnya yang semula simpel, kini mulai terkena kaidah transformasi penggabungan sehingga hubungan dia dengan sifat-sifatnyapun menjadi kompleks.

Hubungan atasan dengan sifat-sifat atasan yang semula hanya berupa statemen, kini mulai terkena kaidah transformasi perintah sehingga hubungan atasan dengan sifat-sifat atasanpun menjadi perintah.

Hubungan saudara dengan sifat-sifat saudara yang semula aktif, kini mulai terkena kaidah transformasi pemasifan sehingga hubungan saudara dengan sifat-sifat saudarapun menjadi pasif.

Hubungan bawahan dengan sifat-sifat bawahan yang semula positif, kini mulai terkena kaidah transformasi pengingkaran sehingga hubungan bawahan dengan sifat-sifat bawahanpun menjadi ingkar.

Hubungan anak dengan sifat-sifat anak yang semula runtut, kini mulai terkena kaidah transformasi pembalikan sehingga hubungan anak dengan sifat-sifat anakpun menjadi inversi.

Idul fitri merupakan kesempatan yang diberikanNya sebagai titik balik untuk mengembalikan sebenar-benarnya keharmonisan pola hubunganku dengan sifat-sifatku, hubunganku dengan hubungan lainnya dan hubunganku dengan yang lain lagi dariku.

Analisis Genre Idul Fitri

Aku mengutip tulisan Halliday yakni bahwa setiap genre wacana memiliki tiga hal pokok di dalamnya yakni tujuan sosial, struktur generik, dan kekhasan fitur-fiturnya. Idul fitri sebagai suatu genre wacana juga memiliki kesemuanya itu. Menurutku, tujuan sosial idul fitri adalah habluminannas setelah habluminallah.

Aku memulai perjalananku ini dengan puasa ramadhan selama satu bulan. Puasa ini mengharuskanku untuk menahan nafsu amarah, aluamah, dan badaniah. Jika ini tak ku lakukan, hilanglah pahalaku dan lapar hauslah perolehanku. Puasa belumlah cukup. Aku harus melengkapinya dengan berbagai ritual lain seperti tarawih, tadarus, dan tafakur.

Ketika aku akan mengakhiri perjalananku, aku harus mengeluarkan dua setengah persen hartaku. Itulah sebenar-benarnya zakat untuk diberikan pada orang yang kurang beruntung dariku. Aku mendengar takbir dan sayup suara bedug. Sesungguhnya, itulah pertanda dimulainya idul fitri.

Aku bungkukkan badanku, aku sujudkan wajahku,aku ucapkan syukur kehadiratMu. Aku masih bisa menikmati malam kemenangan dan kebebasan ini. Kemenangan karena aku telah berusaha memenangkan kejuaraan ini dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Kebebasan karena esok telah selesai puasaku. Rasa lega seperti telah keluar dari kawah candradimuka, tlah ku temukan sebenar-benar diriku.

Aku mulai momen idul fitri ini dengan shalat ied diteruskan jabat tangan bersama ratusan orang-orang itu. Ketika ku pulang, tlah ada ketupat di mejaku. Ketika ku datang ke rumah orang-orang itu, ada ketupat pula di meja mereka. Kemudian ku bertanya apakah sebenar-benar idul fitri itu ketupat? Ketupat berasal dari kata ‘kupat’ (bahasa jawa) yang artinya salah. Ketupat-ketupat itu dimakan di hari idul fitri yang artinya semua kesalahan itu dimaafkan di hari idul fitri. Ketika ku lihat orang-orang itu, banyak sekali orang asing. Ternyata idul fitri didahului dengan adat mudik ‘menuju udik’ untuk sekedar memakan ketupat atau melebur kesalahan dan minta ampunan Allah dan kemudian orang-orang itu untuk menggapai harmoni.